Rabu, Desember 03, 2008

Fatwa Kontroversial



Kemarin media memberitakan fatwa MUI Jatim yang mengharamkan GolPut. Golput diistilahkan bagi para warga negara yang memiliki hak suara dalam pemilihan umum namun tidak menggunakan hak pilihnya tersebut. Sontak saja berita itu mengagetkan dan aku berusaha mencari channel lain yang membahas topik yang sama. Ternyata gak cuma TV-One tapi hampir semua channel menyajikan bersamaan dengan keputusan MK yang memerintahkan pencoblosan ulang di Pamekasan terkait Pilgub Jatim.
Pengharaman di institusi sekaliber MUI adalah sesuatu yang sakral. Pastinya didahului oleh rapat majelis fatwa kemudian terlahirlah ijtihad tentang golput haram. Saya yang awam masalah fiqih shiyasah (fiqih politik) masih terbengong-bengong mencoba menelaah alasan yang diungkapkan oleh majelis fatwa MUI. Alasannya orang yang ber-KTP Indonesia namun tidak ikut serta dalam memilih Amir Wathan adalah berdosa sebagaimana hukum haram itu berdosa bila dilakukan dan mendapat pahala bila ditinggalkan.
Saya kembali mencari rujukan fiqih di tumpukan buku-buku yang kusimpan rapat di kamar belakang (masih dalam kardus, baru pindahan). Kutemukan beberapa literatur yang membahas masalah ini. Bagaimana mungkin fatwa ini lahir sedangkan Pemilu sendiri masih menjadai perdebatan di kalangan Ulama apakah halal atau haram diikuti oleh Muslimin.
Sistem Pemilu berasal dari ideologi demokrasi, dari rakyat ke rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi sejatinya merupakan hasil pemikiran Barat dalam hal ini terlahir dari revolusi Perancis yang sarat dengan sejarah Nasrani. Kemudian ideologi ini menyebar ke negara jajahan Eropa sampai di Indonesia. negara ini pun menelan mentah-mentah ideologi tanpa mempertimbangkan latar belakang sejarah ke-Islaman di Indonesia. Piagam Jakarta adalah salah satu titik benturan ideologi ini dengan Islam.
Kembali ke pengharaman, bagaimana mungkin Muslimin diwajibkan mencoblos (yang artinya wajib pula menerima ideologi demokrasi dalam kehidupan mereka) sedangkan pemilu tidak pernah diterapkan di zaman Rasulullah SAW, sahabat, tabi'in, tabi' tabi'in, dan khalifah sesudahnya. Ini perbedaan paling fundamental di sistem politik Islam dan Demokrasi. Sebegitu cepatkah MUI mengeluarkan fatwa tanpa mengkaji masalah Hadharah dan Madaniyah dalam konsep tauhid.
Logikanya, bagaimana bisa kulit permasalahan dipertimbangkan halal haramnya akan tetapi pokok permasalahan sudah jelas hukumnya.
Wallahu A'lam Bissawab.

Tidak ada komentar: